BeritaDaerahNasional

Skandal PPDB SMPN 14 Depok Manipulasi Titik Koordinat 

57
×

Skandal PPDB SMPN 14 Depok Manipulasi Titik Koordinat 

Sebarkan artikel ini

StarindoNews.Com | Depok – Proses Penerimaan Peserta Didik Baru (PPDB) jalur domisili di SMP Negeri 14 Duren Seribu, Kecamatan Bojongsari, Kota Depok, menuai protes dari warga.

Mereka mengaku dirugikan akibat dugaan manipulasi titik koordinat tempat tinggal yang dilakukan oleh operator sekolah terhadap sejumlah pendaftar.

Pertemuan tersebut digelar pada Rabu, 11 Juni 2025 sekitar pukul 12.00 WIB di ruang kepala sekolah SMPN 14 Duren Seribu. Hadir dalam pertemuan tersebut Lurah Duren Seribu, Kepala SMPN 14, serta Ketua RW 08 dan RW 11.

Dalam forum tersebut, Kepala Sekolah SMPN 14 membenarkan bahwa operator sekolah memberikan bantuan berupa penyesuaian titik koordinat kepada beberapa pendaftar.

“Bantuan itu memungkinkan peserta dari luar wilayah diterima di jalur domisili, padahal jaraknya lebih jauh dari rumah kami yang benar-benar berada di Duren Seribu,” ujar Joshua, warga RW 11.

Ia menyebut bahwa tindakan tersebut sangat merugikan warga setempat. Menurutnya, sejumlah anak dari lingkungan sekitar sekolah tidak lolos seleksi, sementara peserta dari luar wilayah seperti Ragamukti dan Desa Citayam justru diterima karena titik koordinatnya telah diubah.

“Kami merasa sistem ini tidak adil. Jalur domisili seharusnya mengutamakan yang tinggal dekat sekolah, bukan yang bisa dibantu titiknya,” tegas Joshua.

Warga menilai praktik ini mencederai prinsip zonasi yang ditetapkan pemerintah. Mereka juga mempertanyakan masuknya peserta dari luar Kota Depok, termasuk dari wilayah Kabupaten Bogor.

“Ini sekolah negeri di Depok. Seharusnya yang diprioritaskan adalah warga Depok, bukan peserta dari luar kota,” tambah Joshua.

Warga berharap agar Dinas Pendidikan Kota Depok segera mengambil tindakan tegas terhadap dugaan manipulasi tersebut.

Mereka mendesak agar proses PPDB dijalankan secara adil, jujur, dan transparan, serta memastikan tidak ada lagi kecurangan dalam seleksi berbasis zonasi.

“Kami hanya ingin anak-anak kami punya kesempatan yang adil untuk bersekolah di wilayah sendiri,” tutup Joshua. (Yudhi Bachtiar)

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *