Ekonomi

Bukan Cinta yang Menyiksa, Tapi Harapan yang Memenjarakan: Menyelami Tiga Level Hubungan Manusia

20
×

Bukan Cinta yang Menyiksa, Tapi Harapan yang Memenjarakan: Menyelami Tiga Level Hubungan Manusia

Sebarkan artikel ini

Kita sering menyalahkan cinta atas luka yang kita rasakan. Padahal, seperti yang diungkap Dr. Daniel Suwandi, bukan cinta yang menyakitkan—melainkan harapan yang tak terpenuhi.
Dalam wawancara eksklusif ini, Dr. Daniel mengajak kita menyelami tiga level hubungan manusia: Nafsu, Cinta, dan Kasih.
Sebuah perjalanan batin yang membuka mata: dari hubungan yang berpusat pada ego, menuju cinta yang bersyarat, hingga akhirnya sampai pada Kasih sejati—cinta yang bebas dan tenang

Sebuah Renungan Bersama Daniel Suwandi, Ph.D.
(
pulihdaridalam.com)

Ada satu
kalimat yang sudah terlalu sering kita dengar—dan mungkin pernah kita ucapkan
sendiri saat hati remuk: “Cinta itu menyakitkan.” Kalimat itu seperti
mantra universal yang diwariskan dari generasi ke generasi, seolah menjadi
pembenaran bahwa mencintai berarti siap menderita. Namun, bagaimana jika
sebenarnya bukan cinta yang menyakitkan, melainkan harapan yang tak terpenuhi?

Pandangan inilah yang dibawa oleh Daniel
Suwandi, Ph.D.
, seorang pakar Psikologi Spiritual dan Transpersonal.
Dalam wawancara eksklusif, ia memaparkan gagasan radikal: bahwa penderitaan
dalam hubungan bukanlah akibat cinta, melainkan kontrak tak terlihat yang kita
buat di dalam pikiran kita sendiri. “Rasa sakit bukan efek dari mencintai, tapi
hasil dari tawar-menawar yang gagal,” ujarnya tenang.

Dr. Daniel menguraikan analisisnya ke dalam
tiga tingkatan kedewasaan hubungan: Nafsu, Cinta, dan Kasih.
Melalui tiga lensa ini, ia mengajak kita meninjau ulang: apakah yang kita
jalani benar-benar cinta, atau hanya keinginan yang terselubung dalam pakaian
romantisme?

Level 1:
Nafsu – Ketika Hubungan Adalah Cermin Pemanfaatan Diri

Menurut Dr. Daniel, tingkat pertama dinamakan Nafsu—sebuah
hubungan yang berpusat sepenuhnya pada pemenuhan diri. Ia menyebutnya
sebagai “Tingkat Pemanfaatan” atau The Taker.

“Nafsu selalu bertanya, ‘Apa yang bisa saya
dapatkan darimu?’
,” katanya. “Ia adalah dorongan paling dasar dari ego
manusia—tentang dominasi, kontrol, dan rasa aman palsu.”

Dalam konteks ini, pasangan, anak, atau bahkan
sahabat hanya menjadi alat untuk memenuhi kebutuhan batin yang tak tersadari:
validasi, kekuasaan, atau rasa berharga. Contoh yang paling dekat justru muncul
dalam lingkungan yang dianggap suci—keluarga.

Seorang orang tua, misalnya, memaksa anak
masuk ke sekolah elit demi gengsi sosial, sembari berkata, “Ini demi masa
depanmu.”
Tapi di balik kata “demi,” sering tersembunyi ego yang haus
pengakuan. Dr. Daniel menyoroti bahwa tindakan semacam itu bukanlah cinta orang
tua, melainkan nafsu akan status dan kebanggaan diri.

Begitu pula dalam pernikahan. Banyak pasangan
yang sebenarnya tidak mencintai, melainkan ingin memiliki. Kalimat
seperti, “Aku melarang kamu bekerja demi menjaga kehormatan keluarga,” kerap
terdengar mulia, padahal sering berakar dari kebutuhan untuk menguasai dan
mengendalikan. “Kontrol adalah bentuk halus dari ketakutan,” kata Dr. Daniel.
“Dan di balik ketakutan itu, ada ego yang tidak ingin kehilangan sumber
pemenuhannya.”

Level 2:
Cinta – Kontrak Sosial Tak Terucap yang Membatasi Kebebasan

Jika Nafsu adalah hubungan transaksional satu
arah, maka tingkat kedua—Cinta—terlihat lebih matang, tapi justru
menjadi sumber penderitaan terbesar.

Dr. Daniel menyebutnya sebagai Cinta
Bersyarat
atau The Conditional Contractor. “Di sini, kita masih
beroperasi dalam sistem pertukaran yang tersamar,” jelasnya. “Ada perjanjian
tak tertulis: Aku mencintaimu asalkan kamu juga mencintaiku dengan kadar
yang sama.

Ini adalah cinta yang menjadi mata uang
sosial. Kita memberi, tapi diam-diam menghitung. Kita menolong, tapi berharap
diingat. Kita berkorban, tapi menunggu imbalan moral: ucapan terima kasih,
pengakuan, atau setidaknya balasan emosi yang setara. Saat kontrak batin itu
dilanggar, muncul rasa kecewa, sakit hati, bahkan dendam.

Dr. Daniel menyebut fenomena ini sebagai tyranny
of the giver
—tirani sang pemberi. “Ada orang yang tampak dermawan dan penuh
cinta, tapi sebenarnya memberi untuk meneguhkan ego. Ia ingin terlihat mulia,
ingin diakui sebagai pihak yang paling berkorban. Itu bukan kasih, itu strategi
dominasi halus,” ujarnya.

Fenomena ini sangat relevan di masa kini. Di
era media sosial, cinta bersyarat ini mendapat panggung besar. Banyak
pasangan yang menilai cinta dari seberapa sering pasangannya mengunggah foto
bersama, memberi komentar manis, atau menuliskan kata “I love you” di ruang
publik digital. Hubungan menjadi ajang curated affection, bukan koneksi
batin.

Seperti yang dijelaskan Dr. Daniel, “Kita
hidup di masa ketika cinta diukur dengan algoritma, bukan kedalaman jiwa.
Harapan sosial ini membuat banyak orang menderita, karena mereka mengira cinta
adalah tentang validasi eksternal.”

Level 3:
Kasih – Kebahagiaan yang Tidak Memerlukan Balasan

Tingkat tertinggi dari hubungan manusia adalah
Kasih—sebuah keadaan batin yang penuh dan mandiri.

“Kasih sejati tidak bisa menyakiti,” tegas Dr.
Daniel. “Karena ia tidak menuntut apa pun.” Dalam Kasih, seseorang mencintai
bukan karena kebutuhan, tapi karena kebahagiaan memberi itu sendiri. Ia menjadi
The Unconditional Giver.

Cinta di tingkat ini bukanlah tindakan,
melainkan kualitas keberadaan. “Bayangkan ketika Anda memeluk bayi Anda,”
ujarnya. “Anda membersihkan kotorannya bukan karena kewajiban, tapi karena itu
bagian dari kasih. Anda bahagia bukan karena bayi membalas, tapi karena
kehadirannya sendiri sudah cukup.”

Inilah bentuk tertinggi dari hubungan
manusia—keadaan di mana memberi adalah kebahagiaan, bukan pengorbanan.

Dalam konteks psikologi transpersonal,
tahap Kasih ini paralel dengan konsep self-transcendence atau melampaui
ego. Teori ini dikembangkan oleh Abraham Maslow dalam fase akhir piramida
kebutuhannya. Setelah kebutuhan dasar dan aktualisasi diri terpenuhi, manusia
akan mencari pengalaman puncak (peak experience): keadaan kesatuan
dengan sesuatu yang lebih besar dari dirinya.

Dr. Daniel menyebutnya sebagai momen ketika
“diri berhenti menjadi pusat semesta.” Inilah titik di mana cinta berhenti
menjadi emosi dan berubah menjadi kesadaran.

Mengurai
Akar Penderitaan: Ekspektasi dan Harapan yang Tak Disadari

Jika cinta sejati tidak bisa menyakiti,
mengapa begitu banyak hubungan berakhir dengan air mata?

Jawaban Dr. Daniel sederhana: karena kita
mencintai dengan syarat.

Kita menciptakan kontrak sosial tak tertulis yang berisi daftar harapan:
perhatian, kesetiaan, komunikasi, dan sebagainya. Semua itu tampak masuk
akal—sampai salah satunya gagal memenuhinya.

“Ketika pasangan tidak lagi mengirim pesan
setiap pagi, atau tidak merespons dengan cepat, kita merasa kehilangan cinta.
Padahal yang hilang bukan cinta, tapi ekspektasi terhadap bentuk cinta,”
jelasnya.

Dalam kacamata psikologi transpersonal,
penderitaan ini adalah akibat dari keterikatan ego. Ego menciptakan dualitas:
aku dan kamu, memberi dan menerima, cinta dan penolakan. Padahal, kesadaran
sejati tidak memisahkan. Ia melihat cinta sebagai energi yang mengalir tanpa arah,
tanpa tuntutan.

Fenomena ini kini semakin relevan di tengah
meningkatnya krisis kesehatan mental dan relasi digital. Aplikasi
kencan, algoritma “like”, dan budaya instan membuat kita semakin sulit
membedakan antara kasih dan kebutuhan validasi. Kita bukan lagi mencintai
orang, tapi mencintai sensasi dicintai.

Membatalkan
Kontrak Sosial: Jalan Menuju Kebebasan Batin

“Tidak ada cinta yang menyakitkan,” ulang Dr.
Daniel dalam wawancara itu. “Yang menyakitkan adalah gagal memenuhi harapan
yang kita ciptakan sendiri.”

Ia mengajak kita untuk membatalkan kontrak
sosial batin
itu—kontrak yang membuat kita percaya bahwa kebahagiaan
tergantung pada tindakan orang lain.

Ini sejalan dengan ajaran kesadaran Timur
seperti Advaita Vedanta atau Zen Buddhism, yang melihat
penderitaan sebagai hasil ilusi dualitas. Dalam kesadaran non-dualistik, tidak
ada ‘aku yang mencintai’ dan ‘kamu yang dicintai’; yang ada hanyalah energi
kasih yang mengalir.

Dr. Daniel menyebut proses ini sebagai
“deconditioning”—membongkar syarat yang kita tempelkan pada kebahagiaan.
“Begitu kita berhenti menawar, cinta menjadi bebas,” katanya.

Praktik
Membebaskan Diri: Dari Cinta Bersyarat ke Kasih Tanpa Pamrih

Untuk bertransisi dari cinta yang bersyarat
menuju kasih yang tanpa pamrih, Dr. Daniel menyarankan latihan sederhana namun
mendalam.

1.
Observasi Ekspektasi

Setiap kali Anda merasa tersinggung, kecewa,
atau terluka oleh pasangan, berhentilah sejenak. Tanyakan pada diri sendiri:
“Janji tak tertulis apa yang baru saja saya yakini telah dilanggar?”
Kesadaran ini membantu Anda memisahkan tindakan pasangan dari konstruksi mental
Anda sendiri.

2.
Kepemilikan Emosi

Akui bahwa rasa sakit bukan disebabkan oleh
pasangan, melainkan oleh reaksi Anda terhadap harapan yang gagal. Ini adalah
bentuk radical responsibility—menerima bahwa sumber penderitaan ada di
dalam, bukan di luar.

3. Latihan
Kasih Tanpa Balasan

Mulailah dengan tindakan kecil: memberi tanpa
pamrih.
Berikan pujian, bantu orang lain, atau ucapkan terima kasih tanpa menunggu
reaksi. Rasakan kebahagiaan yang muncul hanya karena memberi itu sendiri.
Seiring waktu, kebahagiaan ini menjadi alami—seperti matahari yang bersinar
tanpa niat.

Refleksi di
Era Modern: Cinta, Ego, dan Teknologi

Zaman modern menghadirkan paradoks besar dalam
hubungan. Kita terhubung lebih dari sebelumnya, namun merasa lebih kesepian.
Banyak pasangan “bersama” secara fisik, tapi terpisah secara emosional karena
interaksi mereka dimediasi layar.

Dalam ekosistem ini, ego menemukan lahan subur.
Ia menuntut validasi instan, membandingkan, menilai, dan menciptakan narasi
bahwa cinta harus tampak “ideal”. Padahal, cinta sejati tidak perlu
dipamerkan—ia hanya perlu dihidupi.

Psikologi transpersonal melihat ini sebagai krisis
identitas spiritual
: manusia kehilangan rasa kesatuan dengan dirinya
sendiri. Ketika diri terpecah antara persona digital dan realitas batin, cinta
pun terdistorsi menjadi performa sosial.

Kasih tanpa pamrih menjadi semakin langka
karena kita lupa satu hal mendasar: Cinta sejati tidak membutuhkan penonton.

Menemukan
Kembali Keutuhan Diri

Dalam pandangan Dr. Daniel, penyembuhan
hubungan dimulai dari penyembuhan diri. “Kita tidak bisa mencintai dengan bebas
jika diri masih terpenjara oleh ekspektasi,” ujarnya.

Ia mengutip prinsip kesadaran non-dualistik: “Penderitaan
adalah tanda bahwa kita lupa siapa diri kita sebenarnya—kesadaran yang utuh dan
lengkap.”

Dengan menyadari keutuhan ini, seseorang tidak
lagi mencari cinta di luar dirinya, karena ia telah menjadi sumber cinta itu
sendiri. Hubungan dengan orang lain kemudian bukan lagi arena transaksi,
melainkan ruang ekspresi kebahagiaan batin.

Penutup:
Cinta yang Membebaskan

Akhirnya, Dr. Daniel menutup wawancara dengan
satu kalimat yang meringkas seluruh gagasannya:

“Begitu harapan dilepaskan, penderitaan pun
hilang. Yang tersisa hanyalah Kasih.”

Kita diajak untuk meninjau ulang konsep cinta
yang selama ini kita anut—apakah ia benar-benar murni, atau masih beraroma
nafsu dan harapan tersembunyi.

Di dunia yang terus menuntut kita untuk mendapatkan
lebih banyak
, barangkali langkah paling revolusioner justru adalah melepaskan.
Melepaskan harapan, melepaskan kontrak sosial, dan membiarkan cinta kembali ke
bentuk aslinya: Kasih yang bebas, lembut, dan penuh kebahagiaan.

Jika Anda butuh konsultasi dan terapi untuk
keluarga Anda silahkan hubungi Dr Daniel Suwandi, Ph.D di :

Email : pulihdaridalam@gmail.com

website https://pulihdaridalam.com

Artikel ini juga tayang di VRITIMES